Jumat, 17 Desember 2010

TEROKA

Lesung dalam Mitologi Jawa

Lagi-lagi masyarakat kecil kelimpungan lantaran harga beras di pasar tradisional kian tak pulen saja. Mereka harus merohoh kocek Rp 8.000 untuk nempur ( belanja ) beras jenis C4 super. Sebelumnya, bahan pokok itu telah meroket kekisaran Rp 7.600 per Kg. hama wereng yang mengamuk dituding sebagai biang keladi atas melorotnya produksi beras petani. Demi bias bertahan, sebagian masyarakat miskin di pedesaan Jawa mengeluarkan peralatan tradisional yang sudah lama “dipesiunkan” , yaitu Lesung beserta alu. Peralatan tersebut di pakai lagi untuk menumbuk gaplek. Alhasil, perut mereka kembali bertatap muka dengan tiwul.

Dalam kebudayaan agraris di Jawa, pasti orang mengenal lesung atau minimal pernah mendengar namany. Pasalnya, ia merupakan teknologi penting yang difungsikanuntuk nutu (menumbuk) padi. Biasanya, kegiatan menumbuk dikerjakan kaum perempuan secara kolektif. Diyakini, keberadaan lesung sudah ada sejak periode Jawa kuno. Itu dapat dibuktikan dengan ditemukannya relief candi berpahatkan aktivititas menumbuk.

Sekelumit kisah tentang lesung juga ada dalam cerita rakyat atau legenda di berbagai daerah Pulau Jawa. Teladanya, legenda Besar Candi Sewu alias Rorojonggrang dan Bandung Bandawasa di Jawa Tengah, Kisah Dayang sumbi Dan Sangkuriangdi Jawa Barat., serta folkor perjuangan asmara Roro anteng dengan Joko Seger di sekitar Gunung Bromo. Ketiga legenda itu sama-sama menggunakan lesung untuk menggalkan upaya lelaki yang hendak meminang wanita-wanita jelita itu.

Lesung mereka tumbuk memakai alu jauh sebelum fajar menjelang guna membangunkan ayam-ayam jago biar berkokok. Sebab, menurut kesepakatan dua belah pihak, tugas membuatkan candi, perahu, dan laut sebagai syarat bias mengawinimereka, kudu kelar sebelum ayam mengeluarkan kokok kali pertama, pertanda pagi tiba. Suara berta;u-talu dari lubang lesung sukses menipu para ayam jantan yang berkokok lantaran mengira pagi telah tiba. Gagallah bandung Bandawasa, Sangkuriang, dan perampok sakti merampungkan pekerjaanmya. Kemudiaan, ada sedikit perbedaan dengan folkor Rawa Pening meski juga memanfaatkan lesung, ia tidak di tumbuk, melainkan dinaiki untuk menyelamatkan diri dari luapan air yang menyembur dari tanah bekas tancapan lidi. Boleh dibilang, berbagai cerita rakyat di atas memosisikan lesung bak dewa penyelamat di kala terhimpit.

Sementara itu, kata “lesung” justru menjadi akar sejarah nama kampong (toponimi), yakni Kampung Plesungan di Kabupaten Karanganyar. Merujuk catatan sejarah local, kampong Plesungan masuk dalam kawasan kekuasaan praja mangkunengaran. Tempo doeloe, kampong yang kini mempunyai sanggar seni lesung itu, warganya diserahi tugas khusus oleh gusti mangkunegara untuk menumbuk padi demi kebutuhan perut keluarga Mangkunegaran.

Jika di telaah melalui kacamata antropologis-historis, akan terkuak, lesung ternyata mereflesikan nilai sosiokultural masyarakat agraris yang menekankan aspek keselarasan dan komunalitas. Lesung laksana kaca banggala alias cermin untuk penggilion (berkaca) baik-buruknya sebuah proses interkasi antara individu satu dan individu lainnya. Bahkan, masyarakat klasik menganggap lesung berikut alu merupakan sebuah gambaran nilai kesuburan. Nilai kesuburan bukan Cuma masalah bercocok tanam, melainkan juga kesuburan manusia (reproduksi). Lesung dipresentasikan sebagai unsur yoni (wanita), sedangkan alu di presentasikan sebagai unsur lingga ( pria). Saking begitu dikeramatkannya, wajar kalau orang tua bakal menghardik anak kecil yang sengaja menginjak atau mengempaskan pantat di badan lesung, larangan ini berlaku pula bagi perempuan yang baru dating bulan karena ora ilok ( tidak baik).

Seiring guliran waktu, lesung digunakan untuk kesenian dan komunikasi. Sebagai, contoh, manakala ada tetangga menggelar hajatan terutama mantu (pernikahan), sudah pasti kaum hawa bergotong royong memukul lesung atau kothekan. Ritual itu dikerjakan menjelang esok hari. Merdunya nyanyian atau gending ikut menyertai. Lengkingan suara yang terbawa angin terdengar hingga ke desa-desa tetangga, semua ini sengaja dilakukan dengan tujuan memanggil warga kampung sebelah agar hadir.

Lesung nasibnya kini sungguh malang. Bersamaan merangseknya teknologi modern di pedesaan yang memudahkan kerja para petani, lesung dan alu tak lagi bertalu sebab jarang digunakan . lesung nyaris punah. Ya, hanya sesekali nongol apabila harga beras kembali menguncang. Tapi untuk menumbuk gaplek. Sesekali muncul di perkotaan, bukan habitatnya. Lesung menjadi salah satu perabotan rumah mewah yang berlagak kuno. Lesung ditukar dengan jutaan rupiah oleh pemburu barang langka Karena memang benar-benar langka.

SUMBER
KOMPAS 7 OKTOBER 2010
KAMIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar