Jumat, 17 Desember 2010

MUSLIM-BARAT SALING MENDENGAR

PERUBAHAN SIKAP HARUS DARI KEDUA PIHAK

UBUD, Tanpa langkah nyata warga masyarakat, prasangka terhadap warga muslim, apakah itu Negara-negara barat terhadap Negara muslim atau antar sesama warga Negara, akan semakin tajam dan merusak. Upaya saling mendengar adalah langkah awal mengurangi ketegangan.
Persoalan ini mengemuka dalam sesi debat yang agak “panas” di acara Citibank-Ubud Writers and Readers festival di ubud, Bali jumat. Bukan saja di sesi ini, dalam diskusi-diskusi lainnya pun, isu suara minoritas warga muslim di Negara-negara maju, seperti Australia dan Amerika serikat, isu pendudukan Israel di Palestina, dan isu kekerasan terhadap minoritas di Negara yang mayoritas Muslim menjadi topic hangat.
Para penulis asal AS, lisa Teasley, Robin Hemsley, Mike Otterman, dan Ionis Gatsiounis, bersama penulis Lebanon yang menetap di AS, Rabih Alameddin, merespons pertanyaan moderator tentang menarik garis yang tegas antara fiksi dan non fiksi didalam penulisan.
Bagi Alameddine dan Otterman, apa yang dilakukan Fox Television tentang isu pembangunan mesjid Di Ground Zero (tempat peringatan tragedy 9/11) adalah fiksi. “pertama, itu bukan mesjid, tapi community centre, dan itu tidak di Ground Zero. Itu fiksi, “ kata Alameddine. “ Fox jelas meng-create cerita sehingga memperkeruh suasana dan menguatkan friksi, ujarnya.
Namun, bagi Gatsiounis, seharusnya para pemimpin muslim di AS yang harus “tahu diri” untuk mundur dari usulan tersebut. “seharusnya mereka menyadari betapa sensitivnya isu tersebut,”a gatsiounis. Dia juga menambahkan, untuk memperbaiki hubungan Muslim-Barat, Negara-negara Muslim harus berupaya memperbaiki cutra mereka terlebih dahulu. Ia juga menilai, bukan hanya fox yang harus dikoreksi, melainkan juga Aljazeera. Namun, Otterman tak setuju. “tidak seperti fox, Aljazeera banyak menyuarakan suara dari dunia ketiga, “ katanya”.
Pada akhirnya semua penulis setuju bahwa perubahan sikap harus datang dari kedua belah pihak dan media juga di tuntut ikut bertanggung jawab terhadap upaya mengurangi kesalahpahaman.

Dalam sesi lain dipertanyakan bagaimana untuk tidak mencampuradukan “semangat aktivis” di dalam penulisan. Bagi penulis Australia, Anthony Loewenstein, yang keterununan yahudi, tantangan itu dihadapinya ketika ia menulis buku My Israel Question yang mengkritisi penduduk Israel di palestina,. “saya berprinsip, yang pertama-tama saya adalah manusia, yang kedua barulah sebagai yahudi. Jelas, pendudukan Israel di palestina bukan bualan. Itu ternyata, “katanya.
Tantangan juga dihadapi penyair sekaligus rapper Australia, omar musa, yang lagu-lagunya meyuarakan suara minoritas warga muslim di Australia. “semangat aktivis” ia lakukan tanpa henti. “saya memang tidak akan bisa mengubah dunia, tapi saya berupaya mengubah pikiran stereotip warga muslim di Australia yang minoritas, “katanya.
Bagi Negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia, penulis Cok Sawitri, wayan Juniartha, dan Ina Wahid mengungkapkan , situasi di Indonesia belakang ini menunjukkan, pengejawatahan Bhinneka Tunggal Ika tak semudah di ucapkan. Kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, mislanya, selain menunjukan lemahnya kewibawaan pemerintah, juga memperlihatkan menipisnya kadar toleransi dan menguatnya kecenderungan kekerasan.

SUMBER
KOMPAS 8 OKTOBER 2010
JUMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar